Selasa, 20 Oktober 2015

Jumat, 22 Maret 2013

mari kita saling berjalan ke arah yang berlawanan. lalu berusaha untuk tidak saling menemukan.
mari kita saling memulai cerita masingmasing. tanpa perlu melibatkan satu sama lain.
ini adalah waktuku untuk sepenuhnya memikirkan diriku. memikirkan kebaikan hidupku. tidak yang lain.
ini adalah apaapa yang sudah aku usahkan untuk apapun yang kamu anggap aku tidak melakukan apaapa.
bagaimana jika kamu membuka mata besok, aku benar-benar menghilang dan tidak dapat lagi ditemukan?
bagaimana jika segala bentuk pengabaian ku sebenarnya adalah kecemasan-kecemasan yang tak mampu ku sampaikan?

aku sedang ingin berbahagia dengan diriku sendiri. tak peduli yang lainnya.

Rabu, 20 Maret 2013

Malam ini bulan tak mampu bersinar karen hujan telah menyamarkan malam ini bulan bersembunyi di balik awan hitam dan gulungan hujan dibawah pancuran menatap gemercik air yang jatuh diantara bebatuan  menggoyangkan pucuk2 daun menciumi arom hujan sendirian aku ingat saat hujan datang membawa berjuta harapan  membidikkan panah2 kerinduan pada jiwa yang terjelang aku menanti bersama hujan menanti sis gerimis menanti bias pelangi  yang datang menyambang (cerita malam saat hujan akhir bulan)


Ku alunkan sebuah nada yang tak berdawai, suara gitar yang tak bernian, di temani bulan yang kesepin tanpa adanya bintang, malam ini aku di sini, mengingat sebuah masa yang tak pernah ku lalui, sebuah penyesalan selalu datang menghampiri. Suara gitar ini sangat milou, mengiris-iris hati bagi siapa mereka yang mendengar, nada yang keluar dari bibir terasa senada dengan petikan gitar ku, menemani sang bulan di pangkuan keharibaan malam. Bulan, malam ini aku di sini melihat kau bersedih, murung dan seakan-akan ingin menangis, jangan bersedih bulan ku, malam masih panjang. Seuntaian nada dan cahaya, hembusan angin yang tiada ber-arah, mengeliat-liat bagaikan ombak yang tersapu, aku pun mulai meneteskan air mata, menyaksiksiakan kesunyian hati ini, apakah aku ini seperti bulan itu, bulan yang kesepian karna tiada Bintang, apakah aku seperti gitar tua ini, gitar yang tak berdawai dan hanya memantung tanpa suara…??? Detik-detik jam terus berjalan, merindukan sseorang yang pernah ku sayang, sampai kapan ku menunggu dia datang, sampai kapan hati ini mati, aku ingin dia kembali bersama bintang esok malam, dan aku ingin seperti gitar yang ku petik sekarang. Bulan… aku sama seperti mu, Bulan yang kesepian tanpa Bintang….

“Season will be change”



Sebuah nama tiba-tiba menguap dari hatiku. Luruh. Seperti dedaunan di musim gugur. Kepaknya berkelana bersama angin yang bertiup lembut. Lalu hinggap di tanah. Hanyut bersama derai hujan. Aku disini berdiri. Menatap hampa pada musim yang berubah warna. Merah, biru, putih, kuning, hijau. Berpadu menjadi dedaunan yang lapuk. Setiap detik adalah napas kehidupan di depannya. Berharap untuk tidak menjadi sia-sia. Aku tahu, pada akhirnya memang akan seperti ini. Tergugu menatap hampa pada waktu yang berlari di depanku. Sedangkan langkah masih terasa berat untuk melangkah.  Suatu waktu kau pernah bilang, bahwa hidup akan terus berlanjut, meski tanpa kau disini. Aku ingat itu. Dan akan selalu ingat bahwa kalimat itu adalah jawaban dari semua penantian kemarin. Tidak ada yang berubah dari ucapanmu, bahkan setelah tahun-tahun berlalu. Aku, kamu—kita masih sama.

Detak jarum jam kembali berputar, beranjak dari perhentian terakhirnya. Dan aku, memang harus melanjutkan perjalanan ini, meski tertatih.
Aku percaya, suatu saat, akan menemukan musimku sendiri. Musim yang akan memayungiku dengan bunga-bunga dan kehangatan. Musim yang tidak mudah luruh dan berubah warna. Musim yang hanya akan ku kukunjungi seumur hidup namun akan bertahan disana selamanya. Itulah musimku. Musim keajaiban esok hari.

Angin dipenghujung musim masih berhembus lirih, membelai mukaku yang mulai menyendu. Daun-daun tak henti jatuh. Luruh ke bumi. Seperti nama yang menguap tiba-tiba.

Akhirnya aku beranjak dari tempatku berdiri. Melangkah, menyusul waktu yang telah lama lewat. Kau dan musimmu, biar kutinggalkan disana. Berharap kau akan baik-baik saja bersamanya. Semoga kau bahagia dan selamat tinggal….


“Hujan, aku menyukai hujan, karena hujan telah mempertemukanku dengannya.
Tapi aku juga membenci hujan, karena bersama dengan hujan jugalah, ia pergi meninggalkanku.
               
Aku membuka mataku perlahanan bangkit dari tidurku. Aku melihat kearah jendela kamarku. Hujan, kenapa kau datang begitu sering hari ini? Apa kau ingin membuatku terus mengenang hari kepergiannya ini? Apa kau begitu ingin menyiksaku dengan mengingatkanku dengan kenangan – kenangan itu? Apa belum cukup bagimu dengan merenggutnya dariku? Sehingga kau terus membuatku merasa tersiksa seperti ini?”

Seperti Hujan


Mata itu. Seperti hujan. Teduh, dingin, dan menyejukan. Aku selalu ingin melihat matamu, menyimpan tatapannya dalam ingatanku, kemudian kukenang kembali saat hujan turun.
Senyum itu. Seperti hujan. Tenang, manis, dan menghangatkan. Aku selalu berharap bisa memiliki senyummu, mengikat lengkungnya dalam kotak hatiku, kemudian kututup rapat-rapat agar tidak hilang.
Punggung itu. Seperti hujan. Lembut, hangat, dan beraroma hujan. Aku selalu ingin menyandarkan hatiku pada punggunggmu, menangis di atasnya, kemudian terlelap terbuai oleh aroma hujannya.
Semua yang ada pada dirimu. Seperti hujan. Seharusnya, mungkin, kamu harusnya tahu. Karena kamu adalah hujanku