Yang tinggal hanya aku dan hujan
Tidak semua yang saya tulis adalah saya, dan tidak semua yang kamu baca adalah kamu.
Jumat, 22 Maret 2013
“mari kita saling berjalan ke arah yang berlawanan. lalu berusaha untuk tidak saling menemukan.
mari kita saling memulai cerita masingmasing. tanpa perlu melibatkan satu sama lain.
ini adalah waktuku untuk sepenuhnya memikirkan diriku. memikirkan kebaikan hidupku. tidak yang lain.
ini adalah apaapa yang sudah aku usahkan untuk apapun yang kamu anggap aku tidak melakukan apaapa.
bagaimana jika kamu membuka mata besok, aku benar-benar menghilang dan tidak dapat lagi ditemukan?
bagaimana jika segala bentuk pengabaian ku sebenarnya adalah kecemasan-kecemasan yang tak mampu ku sampaikan?
aku sedang ingin berbahagia dengan diriku sendiri. tak peduli yang lainnya.”
mari kita saling memulai cerita masingmasing. tanpa perlu melibatkan satu sama lain.
ini adalah waktuku untuk sepenuhnya memikirkan diriku. memikirkan kebaikan hidupku. tidak yang lain.
ini adalah apaapa yang sudah aku usahkan untuk apapun yang kamu anggap aku tidak melakukan apaapa.
bagaimana jika kamu membuka mata besok, aku benar-benar menghilang dan tidak dapat lagi ditemukan?
bagaimana jika segala bentuk pengabaian ku sebenarnya adalah kecemasan-kecemasan yang tak mampu ku sampaikan?
aku sedang ingin berbahagia dengan diriku sendiri. tak peduli yang lainnya.”
Rabu, 20 Maret 2013
Malam ini bulan tak mampu bersinar
karen hujan telah menyamarkan
malam ini bulan bersembunyi di balik awan hitam
dan gulungan hujan
dibawah pancuran
menatap gemercik air
yang jatuh diantara bebatuan
menggoyangkan pucuk2 daun
menciumi arom hujan
sendirian
aku ingat saat hujan datang
membawa berjuta harapan
membidikkan panah2 kerinduan
pada jiwa yang terjelang
aku menanti bersama hujan
menanti sis gerimis
menanti bias pelangi
yang datang menyambang
(cerita malam saat hujan akhir bulan)
Ku alunkan sebuah nada yang tak berdawai, suara gitar yang
tak bernian, di temani bulan yang kesepin tanpa adanya bintang, malam ini aku
di sini, mengingat sebuah masa yang tak pernah ku lalui, sebuah penyesalan
selalu datang menghampiri. Suara gitar ini sangat milou, mengiris-iris hati
bagi siapa mereka yang mendengar, nada yang keluar dari bibir terasa senada
dengan petikan gitar ku, menemani sang bulan di pangkuan keharibaan malam.
Bulan, malam ini aku di sini melihat kau bersedih, murung dan seakan-akan ingin
menangis, jangan bersedih bulan ku, malam masih panjang. Seuntaian nada dan
cahaya, hembusan angin yang tiada ber-arah, mengeliat-liat bagaikan ombak yang
tersapu, aku pun mulai meneteskan air mata, menyaksiksiakan kesunyian hati ini,
apakah aku ini seperti bulan itu, bulan yang kesepian karna tiada Bintang,
apakah aku seperti gitar tua ini, gitar yang tak berdawai dan hanya memantung
tanpa suara…??? Detik-detik jam terus berjalan, merindukan sseorang yang pernah
ku sayang, sampai kapan ku menunggu dia datang, sampai kapan hati ini mati, aku
ingin dia kembali bersama bintang esok malam, dan aku ingin seperti gitar yang
ku petik sekarang. Bulan… aku sama seperti mu, Bulan yang kesepian tanpa
Bintang….
“Season will be change”
—
|
Sebuah nama tiba-tiba menguap dari hatiku. Luruh. Seperti
dedaunan di musim gugur. Kepaknya berkelana bersama angin yang bertiup
lembut. Lalu hinggap di tanah. Hanyut bersama derai hujan. Aku disini
berdiri. Menatap hampa pada musim yang berubah warna. Merah, biru, putih,
kuning, hijau. Berpadu menjadi dedaunan yang lapuk. Setiap detik adalah napas
kehidupan di depannya. Berharap untuk tidak menjadi sia-sia. Aku tahu, pada
akhirnya memang akan seperti ini. Tergugu menatap hampa pada waktu yang
berlari di depanku. Sedangkan langkah masih terasa berat untuk
melangkah. Suatu waktu kau pernah bilang, bahwa hidup akan terus
berlanjut, meski tanpa kau disini. Aku ingat itu. Dan akan selalu ingat bahwa
kalimat itu adalah jawaban dari semua penantian kemarin. Tidak ada yang
berubah dari ucapanmu, bahkan setelah tahun-tahun berlalu. Aku, kamu—kita
masih sama.
Detak jarum jam kembali berputar, beranjak dari perhentian terakhirnya. Dan aku, memang harus melanjutkan perjalanan ini, meski tertatih. Aku percaya, suatu saat, akan menemukan musimku sendiri. Musim yang akan memayungiku dengan bunga-bunga dan kehangatan. Musim yang tidak mudah luruh dan berubah warna. Musim yang hanya akan ku kukunjungi seumur hidup namun akan bertahan disana selamanya. Itulah musimku. Musim keajaiban esok hari. Angin dipenghujung musim masih berhembus lirih, membelai mukaku yang mulai menyendu. Daun-daun tak henti jatuh. Luruh ke bumi. Seperti nama yang menguap tiba-tiba. Akhirnya aku beranjak dari tempatku berdiri. Melangkah, menyusul waktu yang telah lama lewat. Kau dan musimmu, biar kutinggalkan disana. Berharap kau akan baik-baik saja bersamanya. Semoga kau bahagia dan selamat tinggal…. |
“Hujan, aku menyukai hujan, karena hujan telah
mempertemukanku dengannya.
Aku membuka mataku perlahanan bangkit dari tidurku. Aku
melihat kearah jendela kamarku. Hujan, kenapa kau datang begitu sering hari
ini? Apa kau ingin membuatku terus mengenang hari kepergiannya ini? Apa kau
begitu ingin menyiksaku dengan mengingatkanku dengan kenangan – kenangan itu?
Apa belum cukup bagimu dengan merenggutnya dariku? Sehingga kau terus membuatku
merasa tersiksa seperti ini?”
Seperti Hujan
Mata itu. Seperti hujan. Teduh, dingin, dan menyejukan. Aku
selalu ingin melihat matamu, menyimpan tatapannya dalam ingatanku, kemudian
kukenang kembali saat hujan turun.
Senyum itu. Seperti hujan. Tenang, manis, dan menghangatkan.
Aku selalu berharap bisa memiliki senyummu, mengikat lengkungnya dalam kotak
hatiku, kemudian kututup rapat-rapat agar tidak hilang.
Punggung itu. Seperti hujan. Lembut, hangat, dan beraroma
hujan. Aku selalu ingin menyandarkan hatiku pada punggunggmu, menangis di
atasnya, kemudian terlelap terbuai oleh aroma hujannya.
Semua yang ada pada dirimu. Seperti hujan. Seharusnya,
mungkin, kamu harusnya tahu. Karena kamu adalah hujanku
Langganan:
Postingan (Atom)