Ada satu masa dimana aku bisa melihat terangnya cahaya,
melepas lara menenggelamkan duka, menghapus pilu mengubur sendu. Saat-saat
dimana kakiku dapat menapak di atas tanah di bawah naungan sekelompok tetes
bernama hujan. Berbahagia di dalamnya, melupakan segala cemas, gundah-gulana,
galau semesta, dan semua yang membuatku tidak nyaman. Semuanya luruh, semuanya
mengalir bersamaan dengan rintik-rintik kecil itu, semuanya serasa ringan. Aku
ingin menangis bahagia, namun hujan menyamarkan air mataku, ia menyeka sedih
itu dengan tetesnya, melengkungkan senyum di bibir ini dengan aromanya, dan
menenteramkan hati dengan iramanya. Sungguh, begitu hangat meskipun aku tahu
hujan kadang dingin, terlalu dingin, dan menyesakkan.
Ada satu masa dimana aku mulai ragu untuk selalu memandang
hujan, akan penantianku terhadap manisnya rintik kecil itu. Saat-saat dimana
aku harus melihat seseorang melangkah pergi, meninggalkanku tanpa menoleh
kembali. Tanpa balik mengejarku lagi. Meskipun aku berada di atas tanah di
bawah hujan, sungguh, tidak ada yang lebih menyesakkan daripada itu. Semuanya
menjadi terasa berbeda. Aku ingin menangis, benar-benar menangis, karena hujan
tidak bisa lagi menyamarkan air mataku, mengalirkan semua kecemasan,
kegelisahan, kegundahan itu saat ini. Aku ingin tersenyum, tapi ternyata tidak
ada lagi yang dapat melengkungkan bibir ini, tidak ada lagi aroma hujan yang
menyejukan, yang ada hanya aroma kesedihan, kebencian, dan keputusasaan. Tidak
ada lagi irama yang menenteramkan hati, yang ada hanya tetes air mata yang
menimbulkan getar kesedihan, karena hujan.
Ada satu masa dimana aku lelah untuk mengejarmu, masa dimana
aku mulai lelah untuk berharap dan mendamba. Saat-saat dimana semua yang
berhubungan dengan rintik, tetes, gerimis, dan hujan telah hilang. Hujan
meluruhkan semuanya, membawa mereka pergi. Ternyata hujan masih bersifat sama
sekarang, mereka membawa pergi sebagian yang aku punya, mengajak sebagian hal
itu untuk luruh dan mengalir bersama mereka, sebagian hal yang aku sebut dengan
kenangan. Masih pantaskah aku untuk memandang hujan, untuk menunggu punggung
beraroma hujan muncul dari balik gerimis, menanti aroma hujan mengetuk rongga
hidungku, mendengar irama hujan yang sebenarnya hanya tik-tik-tik itu?
Entahlah, yang jelas sebagian hal yang kusebut kenangan itu kini telah tiada.
Hujan.
Masihkah menyisakan sepotong masa untuk memulai kisah
baruku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar