Rabu, 20 Maret 2013

Sebuah Pertanyaan?



Ada satu masa dimana aku bisa melihat terangnya cahaya, melepas lara menenggelamkan duka, menghapus pilu mengubur sendu. Saat-saat dimana kakiku dapat menapak di atas tanah di bawah naungan sekelompok tetes bernama hujan. Berbahagia di dalamnya, melupakan segala cemas, gundah-gulana, galau semesta, dan semua yang membuatku tidak nyaman. Semuanya luruh, semuanya mengalir bersamaan dengan rintik-rintik kecil itu, semuanya serasa ringan. Aku ingin menangis bahagia, namun hujan menyamarkan air mataku, ia menyeka sedih itu dengan tetesnya, melengkungkan senyum di bibir ini dengan aromanya, dan menenteramkan hati dengan iramanya. Sungguh, begitu hangat meskipun aku tahu hujan kadang dingin, terlalu dingin, dan menyesakkan.
Ada satu masa dimana aku mulai ragu untuk selalu memandang hujan, akan penantianku terhadap manisnya rintik kecil itu. Saat-saat dimana aku harus melihat seseorang melangkah pergi, meninggalkanku tanpa menoleh kembali. Tanpa balik mengejarku lagi. Meskipun aku berada di atas tanah di bawah hujan, sungguh, tidak ada yang lebih menyesakkan daripada itu. Semuanya menjadi terasa berbeda. Aku ingin menangis, benar-benar menangis, karena hujan tidak bisa lagi menyamarkan air mataku, mengalirkan semua kecemasan, kegelisahan, kegundahan itu saat ini. Aku ingin tersenyum, tapi ternyata tidak ada lagi yang dapat melengkungkan bibir ini, tidak ada lagi aroma hujan yang menyejukan, yang ada hanya aroma kesedihan, kebencian, dan keputusasaan. Tidak ada lagi irama yang menenteramkan hati, yang ada hanya tetes air mata yang menimbulkan getar kesedihan, karena hujan.
Ada satu masa dimana aku lelah untuk mengejarmu, masa dimana aku mulai lelah untuk berharap dan mendamba. Saat-saat dimana semua yang berhubungan dengan rintik, tetes, gerimis, dan hujan telah hilang. Hujan meluruhkan semuanya, membawa mereka pergi. Ternyata hujan masih bersifat sama sekarang, mereka membawa pergi sebagian yang aku punya, mengajak sebagian hal itu untuk luruh dan mengalir bersama mereka, sebagian hal yang aku sebut dengan kenangan. Masih pantaskah aku untuk memandang hujan, untuk menunggu punggung beraroma hujan muncul dari balik gerimis, menanti aroma hujan mengetuk rongga hidungku, mendengar irama hujan yang sebenarnya hanya tik-tik-tik itu? Entahlah, yang jelas sebagian hal yang kusebut kenangan itu kini telah tiada.
Hujan.
Masihkah menyisakan sepotong masa untuk memulai kisah baruku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar