"Aku hanya hujan, dan dia adalah bintang. Bagaimana pun
setiap hujan, selalu tak pernah ada bintang di sana."
Gerimis sudah jatuh lagi, dari balik kaca sebuah jendela aku
menyaksikan dia berlari. Jika itu aku, mungkin aku tak akan berlari karena
takut hujan. Tapi aku akan berjalan selangkah, dua langkah, tiga langkah,
sangat perlahan, agar hujan benar-benar menyatu dengan tubuhku. Dia memang
selalu begitu, ketika hujan ia hanya bisa berlari. Sementara aku dengan diam,
cukup dengan semua pemandangan itu.
Dia sangat baik, saking baiknya sempat aku mengira dia jatuh
cinta padaku. Ternyata tidak, baik itu belum tentu menunjukkan sikap mencintai.
Dia sudah punya kekasih, seseorang yang baik pula dan tentunya juga
mencintainya. Dia pernah membawanya padaku, waktu itu hujan sedang menari kian
deras dan ia berteduh di rumahku. Bersama kekasihnya. Aku mencoba memadamkan bara
api dalam dadaku, berharap hujan bekerja dengan baik dan membantuku
memadamkannya. Ternyata tidak, bara itu semakin berkobar dan membuat dadaku
naik turun, darahku mendidih dan sekali lagi aku kalah oleh perasaanku sendiri.
Kekasihnya menggenggam erat jemarinya, lama, dan seolah tidak akan berhenti
menggenggam hingga hujan berhenti.
Lagi-lagi aku hanya bisa menikmati semuanya dari jauh.
Menikmatinya bersama hujan yang menderu jatuh ke tanah, lalu hanya tersisa
genangan. Di luar dari rumahku, aku bisa memandanginya dari jarak yang begitu
dekat. Saat ia sedang berjalan menuju masjid dekat rumah, terlihat sudah betapa
indahnya mahluk Tuhan ini. Dia mengikat seluruh anganku untuk memilikinya, aku
jatuh cinta padanya saat hujan turun dan merasakan pula cinta itu berguguran
ketika hujan dan kekasihnya menaruh kedua telapak tangan di atas kepalanya.
Begitu romantis adegan itu, dan begitu tragis bagiku yang hanya bisa
mencintainya dalam diam, dalam hujan.
"Ah, bodoh!"
Aku memaki diriku sendiri. Tapi entahlah, aku tak merasa
bodoh karena mencintainya. Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku sendiri tak
bisa tahu pasti apa yang harus aku lakukan. Hanya bisa menjadi bayangan,
bayangan yang selalu mengikut di belakangnya kemana pun ia pergi. Aku sungguh
mencintainya, demi hujan dan demi matahari yang bersinar setelahnya. Juga demi
Tuhan yang menciptakan keduanya. Sayang sekali, cintaku ternyata bertepuk
sebelah dan kuhanya jadi hujan yang jatuh pasrah ketika perasaan ini menguasai
seluruh jiwa ragaku.
"Aku hanya hujan, dan dia adalah bintang. Bagaimana pun
setiap hujan, selalu tak pernah ada bintang di sana."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar